Oleh: Eginius Alves da Cruz
No. Regis: 611 17 063
Mahasiswa
Fakultas Filsafat-Semester 8
Universitas
Katolik Widya Mandira-Kupang
Abstrak:
Intuisi adalah kemampuan para mistik untuk bersentuhan
dengan Realitas atau Tuhan atau dasar alam semesta. Intuisi memberi kita
pengetahuan integral, yang berbeda dan lebih unggul dari pengetahuan diskursif
yang diberikan oleh intelek dan pengetahuan sensual. Akal tidak kreatif dan
produktif. Intuisi itu kreatif. Ini memberi kita pengetahuan tertentu, yang
bebas dari perbedaan subjek dan objek. Melalui intuisi, kita menyadari
kebenaran dasar yang terbukti dengan sendirinya mengenai dunia dan diri kita
sendiri yang tidak diperoleh melalui pengalaman atau melalui akal sehingga
tidak dapat diverifikasi atau disangkal oleh mereka. Kebenaran semacam itu
menjadi dasar dari semua penyelidikan ilmiah dan spekulasi filosofis. Ini juga
merupakan keyakinan kuat dari Dr. S. Radhakrishnan bahwa semua Filsafat harus
merupakan sistematisasi dari ekspresi pengalaman mistik. Bagi Dr. S.
Radhakrishnan spekulasi filosofis, yang di atasnya juga terdapat intuisi, tidak
bergantung pada pernyataan mistik, meskipun harus meratifikasinya. Filsafat
pengetahuan barat yang hanya menilai keabsahan ilmu pengetahuan barat yang
hanya menilai keabsahan ilmu pengetahuan semata-mata yang bersifat
induktif-empiris, rasional-deduktif, dan pragmatis, dianggap telah menafikan
atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris non-positivisme. Hal ini menyebabkan
persoalan yang akut. Karena pada saat paradigma ini berhasil menemukan cabang
disiplin suatu ilmu, maka penemuannya sering mereduksi sebuah kenyataan menjadi
hanya kumpulan fakta dan bersifat material.
Kata
kunci: Akal, Intuisi, Ilmu pengetahuan, Idealisme, Rasionalisme.
A. Pendahuluan
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya
dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu didapat.
Dari sinilah timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan
atau dari mana sumber pengetahuan itu? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh
dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan itu sendiri.
Dasar-dasar pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah secara sistematis sesungguhnya
telah diletakkan oleh para filosof Yunani seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles serta filsuf lainnya sejak abad kelima sebelum masehi.
Pengetahuan ilmiah diperoleh dengan cara mengambil
konklusi umum atau generalisasi dari
sejumlah kejadian baik fenomena alam maupun sosial yang bersifat kasuistik.
Pendekatan empirisme atau metode
induktif tersebut telah
melahirkakan alat bantu ilmu pengetahuan ilmiah yang disebut statistika. Dalam
sejarahnya, kedua pendekatan tersebut pernah terjadi ketidakharmonisan atau
tidak seiring sejalan, karena satu dengan yang lainnya memang saling bertolak
belakang, yang satu berangkat dari dunia ide, yang lain berangkat dari dunia
empiris.
Dalam perkembangan selanjutnya corak berpikir yang
dikembangkan oleh filosof tertentu sangat bergantung kepada bentuk
epistemologinya karena epistemologi selain sebagai bagian filsafat yang
mengkaji segala sesuatu yang terkait dengan pengetahuan, seperti dasar, sifat,
jenis-jenis, objek, struktur, asal mula, metode dan validitas ilmu pengetahuan,
juga merupakan struktur yang membentuk analisa filosofis yang dikembangkan oleh
sang fiilosof.
Seperti diketahui bahwa filsafat ilmu Barat memandang
ilmu (sain) hanya terbatas pada bidang empiris atau fisik. Berbeda dengan
filsafat Timur yang memandang bahwa manusia tidak hanya dapat mengetahui
hal-hal fisik, tetapi juga metafisik. Perbedaan cara pandang (Timur dan Barat)
dalam meneliti objek pengetahuan tersebut tentu saja melahirkan konsekuensi
pada perbedaan ragam sumber ataupun sistem epistemologi yang digunakan.
B. Konsep
Intuisi Menurut S. Radhakrishnan
Menurut Radhakrishnan bahwa semua Filsafat harus
merupakan sistematisasi dari ekspresi pengalaman mistik. Radhakrishnan percaya
pada prinsip evolusi kosmik dan menganggap bahwa Tuhan sedang bekerja di
dalamnya mewujudkan diri-Nya melalui prinsip itu. Percaya pada prinsip evolusi
yang muncul, Radhakrishna menegaskan bahwa pikiran muncul dari kehidupan,
tetapi dengan pikiran proses evolusi tidak berhenti, dan itu akan berlanjut
lebih jauh, Roh wujud terakhir yang muncul atau nanda yang terdiri dari yang
lainnya. Manusia, karena bebas, dapat menciptakan kejahatan di dunia, meskipun
kejahatan masih merupakan bagian dari tujuan Ilahi.
Menurutnya ada tiga kemungkinan sumber ilmu. Pengalaman
indera, kognisi intelektual, dan pemahaman intuitif. Karena pengalaman adalah
sumber yang melaluinya kita mengetahui satu-satunya karakter dunia luar atau
kualitas objek yang masuk akal. Pengalaman indra Dr. S. Radhakrishnan mencatat
berbeda dari apa yang digambarkan oleh psikologi sebagai persepsi indera.
Fungsinya adalah kesan bersama dari objek filosofis. Kognisi intelektual di
sisi lain hampir sama dengan pengetahuan konseptual. Ini adalah pengetahuan
yang diperoleh melalui proses analisis dan sintesis. Ia merasa bahwa beberapa
pengalaman atau kognisi intelektual tidak dapat memberikan pengetahuan atau
kenyataan tetapi dalam kehidupan praktis mereka berguna sebagai sumber pengetahuan.
Amfasis perdagangan timur pada intuisi kreatif tetapi tradisi barat menekankan
pada kecerdasan kritis. Definisi ini tidak harus disajikan terlalu dekat. Itu
relatif dan tidak mutlak.
Pengetahuan intuitif muncul dari perpaduan pikiran yang
intim dengan kenyataan. Ini adalah pengetahuan dengan menjadi dan bukan dengan
akal dengan simbol. Intuisi adalah realisasi langsung dari objeknya. Dalam
pemahaman ini, perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui lenyap sama
sekali dan dualitas mereka hancur sama sekali. Di dalamnya yang mengetahui
membangun identitas dengan yang diketahui. Akal mempelajari aspek luar dan
dalam dari objek dan itu tidak langsung dan simbolis. Alat utamanya adalah
analisis sehingga gagal memahami keseluruhan sifat objek. Tetapi dia mengatakan
bahwa ini pasti mengarah pada anggapan bahwa intuisi dan kecerdasan sangat
berlawanan satu sama lain. Nyatanya, intuisi membutuhkan
kecerdasan untuk ekspresi elaborasi dan pembenaran hasil-hasilnya. Fungsi
intelek adalah analisis tetapi harus ada yang utuh, keseluruhan sebagai
keseluruhan dapat dipahami hanya dengan intuisi.
Intuisi
terkait dengan intelek secara keseluruhan adalah dengan sebagian. Ini memahami
akal dan pengetahuan intelektual. Intuisi adalah pengetahuan dengan identitas.
Itu adalah pengetahuan terakhir dan tertinggi, sedangkan intelek tumbuh dan
berkembang dari kesalahan menuju kebenaran. Baik intuisi dan intelek adalah
milik diri sendiri. Intuisi memiliki jaminannya sendiri; itu memiliki karakter
wahyu. Karya jenius dan kreatif bergantung padanya. Akal dan intuisi tidak
terputus; dalam intuisi, seseorang berpikir lebih dalam, merasakan lebih dalam
dan melihat lebih benar, Sementara intelek melibatkan fakta khusus, intuisi
menggunakan seluruh hidup. Dalam intuisi, kita menjadi satu dengan kebenaran,
menyatu dengan objek pengetahuan. "Objek yang diketahui dilihat bukan
sebagai objek di luar diri, tetapi sebagai bagian dari diri."
Demi kemanusiaan itulah kita harus bekerja. " Oleh karena itu, tujuan manusia yang sebenarnya terletak pada kesatuan kehidupan roh. Cita-cita manusia adalah menjadikan manusia satu dengan roh. Ini karena persatuan melampaui keragaman sambil mengagungkan pluralitas budaya manusia.
C. Hegemoni
ilmu Pengetahuan
Sejak kemunculan Descartes dengan rasionalismenya, maka
terjadilah perubahan besar-besaran terutama setelah diperkenalkannya metode
positivistik dalam lapangan pengetahuan. Bahwa pengetahuan itu harus positif
dan bentuk positifnya adalah obyek pengetahuan harus dapat diverifikasi secara
ilmiah. Kategori ilmiah ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran inderawi. Adapun
yang non-inderawi adalah sesuatu yang absurd.
Paradigma inilah yang kemudian merambah dan mempengaruhi sistem epistemologi dunia, sehingga kajian dan temuan-temuan ilmiah harus merujuk padanya, jika tidak maka dianggap tidak ilmiah. Secara sadar ataupun tidak paradigma psotifistik dan empirisme ini mempengaruhi sistem pendidikan yang oleh beberapa pengamat dimasukkan dalam konstruksi dunia ketiga. Sebagai konsekuensinya penjajahan pasar dan ide-ide di dunia ketiga berlangsung dengan sangat mulus, bahkan sering tanpa disadari, masyarakat dunia ketiga ikut dalam memasarkan ide-ide global.
D. Penutup
Secara
epistemologis, pandangan dunia (world
view) dipengaruhi oleh ranah filsafat tertentu. Jika diadakan simplifikasi
Timur dan Barat, maka pandangan dunia saat ini paling tidak dipengaruhi oleh
hegemoni epistemologis kedua corak kefilsafatan Timur dan Barat.
Sarvepalli
Radhakrishnan telah membuat poin penting lainnya bahwa kekuatan pikiran untuk
melihat kebenaran diperoleh melalui proses intuitif. Dia menggambarkan intuisi
sebagai wawasan sintetis atau kreatif. Proses intuitif dari pengetahuan adalah
sumber dari apa yang memiliki nilai tertinggi, apakah itu dalam agama, seni,
sastra musik Dr. S. Radhakrishnan tidak hanya bergantung pada teks kuno tetapi
menggunakan konsep Barat modern dalam mendefinisikan intuisi. Dalam
pemahamannya, proses intuisi bukanlah proses meditasi mistik atau pemikiran
abstrak. Itu adalah pengetahuan integral — proses inklusif yang tidak
mengecualikan data indra empiris tetapi melampaui itu.
Intuisi sebagai pengetahuan langsung, memberi
‘keselamatan’ secara langsung dan segera. Pengetahuan intuitif, yang bersifat
insight itu identik dengan kebebasan dan pembebasan. Kompasi adalah pengetahuan
sejati, masuk dan melebur dalam realitas. Disebut juga sebagai pengetahuan yang
kudus atau kebijaksanaan intuitif. Jenis pengetahuan dan pemahaman yang
tertinggi. Pengetahuan akan realitas sejati itu hanya dapat diraih secara
spiritual, yakni bukan hanya dengan mengetahui dari satu sisi atau dari satu
sudut pandang, tetapi dengan mencemplungkan diri ke dalamnya dan hanya dengan
menghidupinya.
DAFTAR
PUSTAKA:
______________, Contemporary Indian Philosophy, India,
Calicut University, Malappuram Kerala, 2011.
Russell, Bertrand,
Sejarah Filsafat Barat, (terj.) Sigit
Jatmiko et.al. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Heatubun,
Fabianus, Romantisme dan Intuisionisme, dalam Jurnal Melintas, Vol. 23, No. 1,
2007