Jumat, 25 Juni 2021

HEGEMONI ILMU PENGETAHUAN DAN KONSEP INTUISI MENURUT SARVEPALLI RADHAKRISHNAN


Oleh: Eginius Alves da Cruz

No. Regis: 611 17 063

Mahasiswa Fakultas Filsafat-Semester 8

Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang

Abstrak:

Intuisi adalah kemampuan para mistik untuk bersentuhan dengan Realitas atau Tuhan atau dasar alam semesta. Intuisi memberi kita pengetahuan integral, yang berbeda dan lebih unggul dari pengetahuan diskursif yang diberikan oleh intelek dan pengetahuan sensual. Akal tidak kreatif dan produktif. Intuisi itu kreatif. Ini memberi kita pengetahuan tertentu, yang bebas dari perbedaan subjek dan objek. Melalui intuisi, kita menyadari kebenaran dasar yang terbukti dengan sendirinya mengenai dunia dan diri kita sendiri yang tidak diperoleh melalui pengalaman atau melalui akal sehingga tidak dapat diverifikasi atau disangkal oleh mereka. Kebenaran semacam itu menjadi dasar dari semua penyelidikan ilmiah dan spekulasi filosofis. Ini juga merupakan keyakinan kuat dari Dr. S. Radhakrishnan bahwa semua Filsafat harus merupakan sistematisasi dari ekspresi pengalaman mistik. Bagi Dr. S. Radhakrishnan spekulasi filosofis, yang di atasnya juga terdapat intuisi, tidak bergantung pada pernyataan mistik, meskipun harus meratifikasinya. Filsafat pengetahuan barat yang hanya menilai keabsahan ilmu pengetahuan barat yang hanya menilai keabsahan ilmu pengetahuan semata-mata yang bersifat induktif-empiris, rasional-deduktif, dan pragmatis, dianggap telah menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris non-positivisme. Hal ini menyebabkan persoalan yang akut. Karena pada saat paradigma ini berhasil menemukan cabang disiplin suatu ilmu, maka penemuannya sering mereduksi sebuah kenyataan menjadi hanya kumpulan fakta dan bersifat material.

Kata kunci: Akal, Intuisi, Ilmu pengetahuan, Idealisme, Rasionalisme.

 

A.    Pendahuluan

Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu didapat. Dari sinilah timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan itu? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan itu sendiri. Dasar-dasar pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah secara sistematis sesungguhnya telah diletakkan oleh para filosof Yunani seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles serta filsuf lainnya sejak abad kelima sebelum masehi.

Pengetahuan ilmiah diperoleh dengan cara mengambil konklusi  umum atau generalisasi dari sejumlah kejadian baik fenomena alam maupun sosial yang bersifat kasuistik. Pendekatan empirisme atau metode  induktif  tersebut telah melahirkakan alat bantu ilmu pengetahuan ilmiah yang disebut statistika. Dalam sejarahnya, kedua pendekatan tersebut pernah terjadi ketidakharmonisan atau tidak seiring sejalan, karena satu dengan yang lainnya memang saling bertolak belakang, yang satu berangkat dari dunia ide, yang lain berangkat dari dunia empiris.

Dalam perkembangan selanjutnya corak berpikir yang dikembangkan oleh filosof tertentu sangat bergantung kepada bentuk epistemologinya karena epistemologi selain sebagai bagian filsafat yang mengkaji segala sesuatu yang terkait dengan pengetahuan, seperti dasar, sifat, jenis-jenis, objek, struktur, asal mula, metode dan validitas ilmu pengetahuan, juga merupakan struktur yang membentuk analisa filosofis yang dikembangkan oleh sang fiilosof.

Seperti diketahui bahwa filsafat ilmu Barat memandang ilmu (sain) hanya terbatas pada bidang empiris atau fisik. Berbeda dengan filsafat Timur yang memandang bahwa manusia tidak hanya dapat mengetahui hal-hal fisik, tetapi juga metafisik. Perbedaan cara pandang (Timur dan Barat) dalam meneliti objek pengetahuan tersebut tentu saja melahirkan konsekuensi pada perbedaan ragam sumber ataupun sistem epistemologi yang digunakan.

 

B.     Konsep Intuisi Menurut S. Radhakrishnan

Menurut Radhakrishnan bahwa semua Filsafat harus merupakan sistematisasi dari ekspresi pengalaman mistik. Radhakrishnan percaya pada prinsip evolusi kosmik dan menganggap bahwa Tuhan sedang bekerja di dalamnya mewujudkan diri-Nya melalui prinsip itu. Percaya pada prinsip evolusi yang muncul, Radhakrishna menegaskan bahwa pikiran muncul dari kehidupan, tetapi dengan pikiran proses evolusi tidak berhenti, dan itu akan berlanjut lebih jauh, Roh wujud terakhir yang muncul atau nanda yang terdiri dari yang lainnya. Manusia, karena bebas, dapat menciptakan kejahatan di dunia, meskipun kejahatan masih merupakan bagian dari tujuan Ilahi.

Menurutnya ada tiga kemungkinan sumber ilmu. Pengalaman indera, kognisi intelektual, dan pemahaman intuitif. Karena pengalaman adalah sumber yang melaluinya kita mengetahui satu-satunya karakter dunia luar atau kualitas objek yang masuk akal. Pengalaman indra Dr. S. Radhakrishnan mencatat berbeda dari apa yang digambarkan oleh psikologi sebagai persepsi indera. Fungsinya adalah kesan bersama dari objek filosofis. Kognisi intelektual di sisi lain hampir sama dengan pengetahuan konseptual. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses analisis dan sintesis. Ia merasa bahwa beberapa pengalaman atau kognisi intelektual tidak dapat memberikan pengetahuan atau kenyataan tetapi dalam kehidupan praktis mereka berguna sebagai sumber pengetahuan. Amfasis perdagangan timur pada intuisi kreatif tetapi tradisi barat menekankan pada kecerdasan kritis. Definisi ini tidak harus disajikan terlalu dekat. Itu relatif dan tidak mutlak.

Pengetahuan intuitif muncul dari perpaduan pikiran yang intim dengan kenyataan. Ini adalah pengetahuan dengan menjadi dan bukan dengan akal dengan simbol. Intuisi adalah realisasi langsung dari objeknya. Dalam pemahaman ini, perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui lenyap sama sekali dan dualitas mereka hancur sama sekali. Di dalamnya yang mengetahui membangun identitas dengan yang diketahui. Akal mempelajari aspek luar dan dalam dari objek dan itu tidak langsung dan simbolis. Alat utamanya adalah analisis sehingga gagal memahami keseluruhan sifat objek. Tetapi dia mengatakan bahwa ini pasti mengarah pada anggapan bahwa intuisi dan kecerdasan sangat berlawanan satu sama lain. Nyatanya, intuisi membutuhkan kecerdasan untuk ekspresi elaborasi dan pembenaran hasil-hasilnya. Fungsi intelek adalah analisis tetapi harus ada yang utuh, keseluruhan sebagai keseluruhan dapat dipahami hanya dengan intuisi.

Intuisi terkait dengan intelek secara keseluruhan adalah dengan sebagian. Ini memahami akal dan pengetahuan intelektual. Intuisi adalah pengetahuan dengan identitas. Itu adalah pengetahuan terakhir dan tertinggi, sedangkan intelek tumbuh dan berkembang dari kesalahan menuju kebenaran. Baik intuisi dan intelek adalah milik diri sendiri. Intuisi memiliki jaminannya sendiri; itu memiliki karakter wahyu. Karya jenius dan kreatif bergantung padanya. Akal dan intuisi tidak terputus; dalam intuisi, seseorang berpikir lebih dalam, merasakan lebih dalam dan melihat lebih benar, Sementara intelek melibatkan fakta khusus, intuisi menggunakan seluruh hidup. Dalam intuisi, kita menjadi satu dengan kebenaran, menyatu dengan objek pengetahuan. "Objek yang diketahui dilihat bukan sebagai objek di luar diri, tetapi sebagai bagian dari diri."

Demi kemanusiaan itulah kita harus bekerja. " Oleh karena itu, tujuan manusia yang sebenarnya terletak pada kesatuan kehidupan roh. Cita-cita manusia adalah menjadikan manusia satu dengan roh. Ini karena persatuan melampaui keragaman sambil mengagungkan pluralitas budaya manusia.

C.    Hegemoni ilmu Pengetahuan

Sejak kemunculan Descartes dengan rasionalismenya, maka terjadilah perubahan besar-besaran terutama setelah diperkenalkannya metode positivistik dalam lapangan pengetahuan. Bahwa pengetahuan itu harus positif dan bentuk positifnya adalah obyek pengetahuan harus dapat diverifikasi secara ilmiah. Kategori ilmiah ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran inderawi. Adapun yang non-inderawi adalah sesuatu yang absurd.

Paradigma inilah yang kemudian merambah dan mempengaruhi sistem epistemologi dunia, sehingga kajian dan temuan-temuan ilmiah harus merujuk padanya, jika tidak maka dianggap tidak ilmiah. Secara sadar ataupun tidak paradigma psotifistik dan empirisme ini mempengaruhi sistem pendidikan yang oleh beberapa pengamat dimasukkan dalam konstruksi dunia ketiga. Sebagai konsekuensinya penjajahan pasar dan ide-ide di dunia ketiga berlangsung dengan sangat mulus, bahkan sering tanpa disadari, masyarakat dunia ketiga ikut dalam memasarkan ide-ide global.

D.    Penutup

Secara epistemologis, pandangan dunia (world view) dipengaruhi oleh ranah filsafat tertentu. Jika diadakan simplifikasi Timur dan Barat, maka pandangan dunia saat ini paling tidak dipengaruhi oleh hegemoni epistemologis kedua corak kefilsafatan Timur dan Barat.

Sarvepalli Radhakrishnan telah membuat poin penting lainnya bahwa kekuatan pikiran untuk melihat kebenaran diperoleh melalui proses intuitif. Dia menggambarkan intuisi sebagai wawasan sintetis atau kreatif. Proses intuitif dari pengetahuan adalah sumber dari apa yang memiliki nilai tertinggi, apakah itu dalam agama, seni, sastra musik Dr. S. Radhakrishnan tidak hanya bergantung pada teks kuno tetapi menggunakan konsep Barat modern dalam mendefinisikan intuisi. Dalam pemahamannya, proses intuisi bukanlah proses meditasi mistik atau pemikiran abstrak. Itu adalah pengetahuan integral — proses inklusif yang tidak mengecualikan data indra empiris tetapi melampaui itu.

Intuisi sebagai pengetahuan langsung, memberi ‘keselamatan’ secara langsung dan segera. Pengetahuan intuitif, yang bersifat insight itu identik dengan kebebasan dan pembebasan. Kompasi adalah pengetahuan sejati, masuk dan melebur dalam realitas. Disebut juga sebagai pengetahuan yang kudus atau kebijaksanaan intuitif. Jenis pengetahuan dan pemahaman yang tertinggi. Pengetahuan akan realitas sejati itu hanya dapat diraih secara spiritual, yakni bukan hanya dengan mengetahui dari satu sisi atau dari satu sudut pandang, tetapi dengan mencemplungkan diri ke dalamnya dan hanya dengan menghidupinya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA:

______________, Contemporary Indian Philosophy, India, Calicut University, Malappuram Kerala, 2011.

Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, (terj.) Sigit Jatmiko et.al. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Heatubun, Fabianus, Romantisme dan Intuisionisme, dalam Jurnal Melintas, Vol. 23, No. 1, 2007